Permenag 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan

Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan


Peraturan Menteri Agama RI Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan mencabut Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tentang Pencatatan Nikah karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Permenag Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan diteken Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada tanggal 27 Agustus 2018, mulai berlaku dan diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1153 oleh Widodo Ekatjahjana, Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2018.

Pertimbangan

Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan ini penting bagi yang akan menikah atau membutuhkan informasi tentang perkawinan tentunya. Adapun latar belakang pertimbangan Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama tentang Pencatatan Perkawinan ini adalah bahwa:
  1. untuk tertib administrasi, transparansi, dan kepastian hukum dalam pelaksanaan perkawinan bagi umat Islam, perlu mengatur mengenai pencatatan perkawinan;
  2. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga perlu disempurnakan;/li>
  3. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pencatatan Perkawinan;

Landasan Hukum Permenag Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan

Dasar hukum Permenag Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk;
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk di seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 694);
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019);
  4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2078);
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250);
  7. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 8);
  8. Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 168);
  9. Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 851);
  10. Peraturan Menteri Agama Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Utara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1735);
  11. Peraturan Menteri Agama Nomor 66 Tahun 2015 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja 33 (Tiga Puluh Tiga) Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1736);
  12. Peraturan Menteri Agama Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1252);
  13. Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1495);
Adapun isi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan adalah sebagai berikut.

Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang selanjutnya disebut KUA Kecamatan adalah unit pelaksana teknis pada direktorat jenderal bimbingan masyarakat Islam.
  2. Penghulu adalah pegawai negeri sipil sebagai pegawai pencatat perkawinan.
  3. Kepala KUA Kecamatan adalah penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala KUA Kecamatan.
  4. Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan yang selanjutnya disingkat P4 adalah anggota masyarakat yang diangkat oleh kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota untuk membantu tugas Penghulu.
  5. Akta Perkawinan adalah akta autentik pencatatan peristiwa perkawinan.
  6. Buku Pencatatan Perkawinan adalah kutipan Akta Perkawinan.
  7. Kartu Perkawinan adalah Buku Pencatatan Perkawinan dalam bentuk kartu elektronik.
  8. Akta Rujuk adalah akta autentik pencatatan peristiwa rujuk.
  9. Kutipan Buku Pencatatan Rujuk adalah kutipan Akta Rujuk yang diberikan kepada pasangan suami istri yang rujuk.
  10. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal adalah satuan kerja yang membidangi bimbingan masyarakat Islam pada Kementerian Agama.

Pasal 2

  1. Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam wajib dicatat dalam Akta Perkawinan.
  2. Pencatatan perkawinan dalam Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan.
  3. Pencatatan perkawinan dalam Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui tahapan:
    1. pendaftaran kehendak perkawinan;
    2. pengumuman kehendak perkawinan;
    3. pelaksanaan pencatatan perkawinan; dan
    4. penyerahan Buku Pencatatan Perkawinan.

BAB II
PENDAFTARAN KEHENDAK PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Permohonan

Pasal 3

  1. Pendaftaran kehendak perkawinan dilakukan di KUA Kecamatan tempat akad dilaksanakan.
  2. Pendaftaran kehendak perkawinan dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan perkawinan.
  3. Dalam hal pendaftaran kehendak perkawinan dilakukan kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, calon pengantin harus mendapat surat dispensasi dari camat tempat akad dilaksanakan.

Bagian Kedua
Persyaratan Administratif

Pasal 4

Pendaftaran kehendak perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan secara tertulis dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan:
  1. surat pengantar perkawinan dari kelurahan tempat tinggal calon pengantin;
  2. fotokopi akte kelahiran;
  3. fotokopi kartu tanda penduduk;
  4. fotokopi kartu keluarga;
  5. surat rekomendasi perkawinan dari KUA Kecamatan setempat bagi calon pengantin yang menikah di luar wilayah kecamatan tempat tinggalnya;
  6. persetujuan kedua calon pengantin;
  7. izin tertulis orang tua atau wali bagi calon pengantin yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun;
  8. izin dari wali yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah, dalam hal kedua orang tua atau wali sebagaimana dimaksud dalam huruf g meninggal dunia atau dalam keadaaan tidak mampu;
  9. izin dari pengadilan, dalam hal orang tua, wali, dan pengampu tidak ada;
  10. dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur 16 (enam belas) tahun;
  11. surat izin dari atasannya/kesatuannya jika calon mempelai anggota tentara nasional Indonesia/ kepolisian Republik Indonesia;
  12. penetapan izin poligami dari pengadilan agama bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
  13. akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/buku pendaftaran cerai bagi mereka yang perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan
  14. akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh lurah/kepala desa atau pejabat setingkat bagi janda/duda ditinggal mati.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Dokumen

Pasal 5

  1. Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu melakukan pemeriksaan dokumen perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
  2. Dalam hal pemeriksaan dokumen perkawinan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu memberitahukan kepada calon suami, calon istri, dan wali atau wakilnya.
  3. Calon suami, calon istri, dan wali atau wakilnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kelengkapan dokumen perkawinan paling lambat 1 (satu) hari sebelum peristiwa perkawinan.
  4. Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu melakukan pemeriksaan terhadap dokumen perkawinan dengan menghadirkan calon suami, calon istri, dan wali untuk memastikan ada atau tidak adanya halangan untuk menikah.
  5. Hasil pemeriksaan dokumen perkawinan dituangkan dalam lembar pemeriksaan perkawinan, yang ditandatangani oleh calon istri, calon suami, wali, Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu.
  6. Dalam hal calon suami, calon istri dan/atau wali tidak dapat membaca/menulis, penandatanganan dapat diganti dengan cap jempol.
  7. Pemeriksaan dokumen perkawinan yang dilakukan oleh P4 dibuat dalam 2 (dua) rangkap, helai kesatu dan surat yang diperlukan disampaikan kepada KUA Kecamatan, serta helai kedua disimpan oleh P4.
  8. Pemeriksaan dokumen perkawinan dilakukan di wilayah kecamatan tempat dilangsungkannya akad.

Bagian Keempat
Penolakan Kehendak Perkawinan

Pasal 6

  1. Dalam hal pemeriksaan dokumen perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tidak terpenuhi atau terdapat halangan untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), kehendak perkawinan ditolak.
  2. Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu memberitahukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada calon suami, calon istri, dan wali disertai alasan penolakan.

BAB III
PENGUMUMAN KEHENDAK PERKAWINAN

Pasal 7

  1. Dalam hal telah terpenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (4), Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu mengumumkan kehendak perkawinan.
  2. Pengumuman kehendak perkawinan dilakukan pada tempat tertentu di KUA Kecamatan atau media lain yang dapat diakses oleh masyarakat.
  3. Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan selama 10 (sepuluh) hari kerja sejak pendaftaran perkawinan.
  4. Dalam hal akad dilaksanakan kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja sejak pendaftaran perkawinan, pengumuman kehendak perkawinan dilakukan setelah mendapat surat dispensasi dari camat di wilayah akad dilaksanakan.

BAB IV
PELAKSANAAN PENCATATAN PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 8

  1. Pencatatan perkawinan dilakukan setelah akad dilaksanakan.
  2. Akad dilaksanakan setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.

Bagian Kedua
Rukun Perkawinan

Pasal 9

  1. Akad dilaksanakan setelah memenuhi rukun perkawinan.
  2. Rukun perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. calon suami;
    2. calon istri;
    3. wali;
    4. dua orang saksi; dan
    5. ijab qabul.

Paragraf 1
Calon Suami dan Calon Istri

Pasal 10

  1. Akad dihadiri calon suami dan calon istri.
  2. Dalam hal calon suami tidak hadir pada saat akad, dapat diwakilkan kepada orang lain dengan membuat surat kuasa di atas meterai yang diketahui oleh Kepala KUA Kecamatan, Penghulu, atau kepala kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri setempat.
  3. Persyaratan wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
    1. laki-laki;
    2. beragama Islam;
    3. berusia paling rendah 21 (dua puluh satu) tahun;
    4. berakal; dan
    5. adil.

Paragraf 2
Wali

Pasal 11

  1. Wali terdiri atas wali nasab dan wali hakim.
  2. Syarat wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. laki-laki;
    2. beragama Islam;
    3. baligh;
    4. berakal; dan
    5. adil.
  3. Wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki urutan:
    1. bapak kandung;
    2. kakek (bapak dari bapak);
    3. bapak dari kakek (buyut);
    4. saudara laki-laki sebapak seibu;
    5. saudara laki-laki sebapak;
    6. anak laki-laki saudara laki-laki sebapak seibu;
    7. anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak;
    8. paman (saudara laki-laki bapak sebapak seibu);
    9. paman sebapak (saudara laki-laki bapak sebapak);
    10. anak paman sebapak seibu;
    11. anak paman sebapak;
    12. cucu paman sebapak seibu;
    13. cucu paman sebapak;
    14. paman bapak sebapak seibu;
    15. paman bapak sebapak;
    16. anak paman bapak sebapak seibu;
    17. anak paman bapak sebapak;
    18. saudara laki-laki kandung kakek;
    19. saudara laki-laki sebapak kakek;
    20. anak sebapak seibu saudara kandung kakek; dan
    21. anak saudara laki-laki sebapak kakek.
  4. Untuk melaksanakan akad, wali nasab dapat mewakilkan kepada Kepala KUA Kecamatan, Penghulu, P4, atau orang lain yang memenuhi syarat.
  5. Dalam hal wali tidak hadir pada saat akad, wali harus membuat surat taukil wali yang ditandatangani oleh wali, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan diketahui oleh Kepala KUA Kecamatan tempat tinggal wali.

Pasal 12

  1. Dalam hal tidak adanya wali nasab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), akad dilaksanakan dengan wali hakim.
  2. Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijabat oleh Kepala KUA Kecamatan.
  3. Wali hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali apabila:
    1. wali nasab tidak ada;
    2. walinya adhal;
    3. walinya tidak diketahui keberadaannya;
    4. walinya tidak dapat dihadirkan karena dalam masa tahanan; atau
    5. wali nasab tidak ada yang beragama Islam.
  4. Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh pengadilan agama atau Mahkamah Syar’iyah.
  5. Wali tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c didasarkan atas surat pernyataan dari calon pengantin yang diketahui oleh lurah/kepala desa setempat.
  6. Wali tidak dapat dihadirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d karena yang bersangkutan sedang berada dalam tahanan dengan bukti surat keterangan dari instansi berwenang.

Paragraf 3
Saksi

Pasal 13

  1. Akad dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
  2. Syarat saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. laki-laki;
    2. beragama Islam;
    3. baligh;vberakal; dan
    4. adil.

Paragraf 4
Ijab Qabul

Pasal 14

  1. Ijab dalam akad dilakukan oleh wali.
  2. Qabul dalam akad dilakukan oleh calon suami atau yang mewakili.

Bagian Ketiga
Tempat Akad

Pasal 15

  1. Tempat akad dilaksanakan di KUA Kecamatan pada hari dan jam kerja.
  2. Atas permintaan calon pengantin, akad dapat dilaksanakan di luar KUA Kecamatan atau di luar hari dan jam kerja.

Pasal 16

  1. Akad dilaksanakan di hadapan Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu yang mewilayahi tempat akad dilaksanakan.
  2. Dalam hal pelaksanaan akad dilaksanakan di daerah terdalam, terluar, dan di daerah perbatasan, Kepala KUA Kecamatan dapat menugaskan P4.
  3. Akad yang dilaksanakan di luar tempat tinggal calon suami dan calon istri harus mendapatkan surat rekomendasi perkawinan dari Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu wilayah tempat tinggal masing-masing.

Bagian Keempat
Pencatatan Perkawinan

Pasal 17

  1. Akad dicatat dalam Akta Perkawinan oleh Kepala KUA Kecamatan.
  2. Akta ditandatangani oleh suami, istri, wali, saksi, Penghulu, dan Kepala KUA Kecamatan.

BAB V
PENYERAHAN BUKU PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 18

  1. Pasangan suami istri memperoleh Buku Pencatatan Perkawinan dan Kartu Perkawinan.
  2. Buku Pencatatan Perkawinan diberikan kepada suami dan istri setelah proses akad selesai dilaksanakan.
  3. Buku Pencatatan Perkawinan ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kartu Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama.

BAB VI
PERJANJIAN PERKAWINAN

Pasal 19

  1. Calon suami dan calon istri, pasangan pengantin, atau suami dan istri dapat membuat perjanjian perkawinan pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan.
  2. Perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan notaris.
  3. Materi perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam dan/atau ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 20

  1. Pencatatan perjanjian perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dicatat oleh Kepala KUA Kecamatan pada Akta Perkawinan dan Buku Pencatatan Perkawinan.
  2. Persyaratan dan tata cara pencatatan perjanjian perkawinan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

BAB VII
PENGADMINISTRASIAN PERISTIWA PERKAWINAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 21

  1. Administrasi pencatatan perkawinan dilakukan melalui aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan berbasis online.
  2. Dalam hal KUA Kecamatan belum terhubung dengan jaringan, administrasi pencatatan perkawinan dilakukan secara offline.

Bagian Kedua
Pengesahan Perkawinan

Pasal 22

  1. Pencatatan perkawinan berdasarkan pengesahan perkawinan atau isbat dapat dilakukan di KUA Kecamatan yang ditunjuk dalam penetapan pengadilan agama.
  2. Dalam hal amar putusan pengadilan agama tidak menyebutkan KUA Kecamatan tertentu untuk mencatat perkawinan, pencatatan pengesahan perkawinan atau isbat dilakukan atas dasar:
    1. surat permohonan yang bersangkutan;
    2. surat pernyataan belum pernah mencatatkan pengesahan perkawinan atau isbat pada KUA Kecamatan; dan
    3. surat keterangan dari lurah/kepala desa tempat domisili pemohon.
  3. Dalam hal pencatatan pengesahan perkawinan atau isbat yang dilakukan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan/Penghulu.

BAB VIII
PERKAWINAN CAMPURAN

Bagian Kesatu
Pencatatan Perkawinan Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing

Pasal 23

  1. Perkawinan campuran antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan beragama Islam yang berbeda kewarganegaraan salah satunya berkewarganegaraan Indonesia dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Perkawinan campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat pada KUA Kecamatan atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Pasal 24

Persyaratan perkawinan campuran bagi warga negara asing:
  1. izin kedutaan/perwakilan dari negara yang bersangkutan;
  2. dalam hal seorang warga negara asing tidak terdapat kedutaan negaranya di Indonesia, izin sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat diminta dari instansi yang berwenang negara yang bersangkutan;
  3. izin poligami dari pengadilan agama atau instansi yang berwenang pada negara asal calon pengantin bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
  4. melampirkan fotokopi akta kelahiran;
  5. melampirkan akta cerai;
  6. surat kematian bagi duda dan janda dari negara calon pengantin;
  7. melampirkan fotokopi paspor;
  8. melampirkan data kedua orang tua warga negara asing sesuai dengan data pada Akta Perkawinan; dan
  9. semua dokumen yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

Bagian Kedua
Pencatatan Perkawinan Warga Negara Asing

Pasal 25

  1. Perkawinan antarwarga negara asing yang beragama Islam dapat dicatat di KUA Kecamatan.
  2. Persyaratan pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
    1. izin kedutaan/perwakilan dari negara yang bersangkutan;
    2. dalam hal seorang warga negara asing tidak terdapat kedutaan negaranya di Indonesia, izin sebagaimana dimaksud dalam huruf a dapat diminta dari instansi yang berwenang negara yang bersangkutan;
    3. izin poligami dari pengadilan agama di Indonesia bagi warga negara asing yang akan berpoligami;
    4. melampirkan fotokopi akta kelahiran;
    5. melampirkan akta cerai;
    6. surat kematian bagi duda dan janda dari instansi yang berwenang negara calon pengantin;
    7. melampirkan fotokopi paspor;
    8. melampirkan data kedua orang tua warga negara asing sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pengisian data pada Akta Perkawinan; dan
    9. semua dokumen yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penterjemah resmi.

BAB IX
PENCATATAN PERKAWINAN DI LUAR NEGERI

Pasal 26

  1. Pencatatan perkawinan antarwarga negara Indonesia dan/atau antarwarga negara Indonesia dengan warga negara asing yang dilangsungkan di luar negeri dilakukan di kantor perwakilan Republik Indonesia.
  2. Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan/Penghulu, setelah memenuhi persyaratan:
    1. surat pengantar dari lurah/kepala desa;
    2. fotokopi kartu tanda penduduk;
    3. fotokopi kartu keluarga;
    4. fotokopi akta kelahiran;
    5. rekomendasi perkawinan dari KUA Kecamatan yang dilegalisasi oleh Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah; dan
    6. pasfoto berlatar belakang warna biru ukuran 2x3 (dua kali tiga) sebanyak 3 (tiga) lembar.

Pasal 27

  1. Perkawinan warga negara Indonesia dan/atau antarwarga negara Indonesia dengan warga negara asing yang dilaksanakan di luar negeri selain yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara setempat.
  2. Bukti perkawinan yang dilakukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan ke kantor perwakilan Republik Indonesia.

Pasal 28

  1. Warga negara Indonesia dan/atau antarwarga negara Indonesia dengan warga negara asing yang melangsungkan perkawinan di kantor perwakilan Republik Indonesia atau di negara lain di luar negeri mendaftarkan bukti perkawinannya di KUA Kecamatan tempat tinggal suami/istri paling lambat 1 (satu) tahun setelah kembali ke tanah air.
  2. Pendaftaran bukti perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membawa Buku Pencatatan Perkawinan/sertifikat perkawinan yang telah dilegalisasi oleh kepala kantor perwakilan Republik Indonesia.

Pasal 29

Pendaftaran bukti perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri dicatat oleh Kepala KUA Kecamatan pada register perkawinan luar negeri.

BAB X
PENCATATAN RUJUK

Pasal 30

  1. Suami dan istri yang akan melaksanakan rujuk, memberitahukan kepada Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu secara tertulis dengan dilengkapi akta cerai dan surat pengantar dari lurah/kepala desa.
  2. Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memeriksa dan meneliti akta cerai dan surat pengantar dari lurah/kepala desa.
  3. Suami mengucapkan ikrar rujuk di hadapan Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu.
  4. Kepala KUA Kecamatan atau Penghulu mencatat peristiwa rujuk dalam Akta Rujuk yang ditandatangani oleh suami, istri, saksi, dan Kepala KUA Kecamatan.

Pasal 31

  1. Kepala KUA Kecamatan menandatangani dan memberikan kutipan akta rujuk kepada suami dan istri.
  2. Suami dan istri menyerahkan kutipan akta rujuk kepada pengadilan agama untuk pengambilan Buku Pencatatan Perkawinan.

BAB XI
SARANA

Pasal 32

  1. Formulir pencatatan perkawinan terdiri atas:
    1. pengantar perkawinan dari lurah/kepala desa;
    2. permohonan kehendak perkawinan;
    3. persetujuan kedua calon mempelai;
    4. surat izin orang tua;
    5. penolakan kehendak perkawinan rujuk;
    6. surat keterangan kematian;
    7. pemeriksaan perkawinan;
    8. pengumuman perkawinan;
    9. rekomendasi perkawinan;
    10. Akta Perkawinan;
    11. Buku Pencatatan Perkawinan;
    12. Kartu Perkawinan;
    13. duplikat Buku Pencatatan Perkawinan;
    14. pendaftaran bukti perkawinan luar negeri;
    15. Akta Rujuk;
    16. kutipan akta rujuk; dan
    17. pemberitahuan rujuk.
  2. Formulir perkawinan yang meliputi Akta Perkawinan, Buku Pencatatan Perkawinan, Kartu Perkawinan, duplikat Buku Pencatatan Perkawinan, dan pemeriksaan perkawinan, disediakan oleh Direktorat Jenderal.
  3. Surat pengantar perkawinan dan surat keterangan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dikeluarkan oleh lurah/kepala desa.
  4. Formulir perkawinan selain yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disediakan oleh kantor kementerian agama kabupaten/kota.
  5. Model formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

BAB XII
TATA CARA PENULISAN

Pasal 33

  1. Pengisian formulir yang digunakan dalam pendaftaran, pemeriksaan, dan pencatatan perkawinan dan rujuk melalui aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan.
  2. Dalam hal KUA Kecamatan belum memiliki fasilitas perangkat komputer/aplikasi berbasis teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara manual.

Pasal 34

  1. Pencatatan perubahan nama suami, istri, dan wali, harus berdasarkan penetapan pengadilan negeri pada wilayah yang bersangkutan.
  2. Pencatatan perubahan data perseorangan berupa tempat, tanggal, bulan, dan tahun lahir, nomor induk kependudukan, kewarganegaraan, pekerjaan, serta alamat harus didasarkan pada surat pengantar dari kelurahan/kepala desa.

BAB XIII
PENERBITAN DUPLIKAT BUKU PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 35

  1. Buku Pencatatan Perkawinan yang rusak atau hilang dapat diterbitkan duplikat.
  2. Duplikat Buku Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dan ditandatangani oleh Kepala KUA Kecamatan yang mencatat perkawinan berdasarkan surat keterangan kehilangan dari kepolisian.
  3. Penerbitan duplikat Buku Pencatatan Perkawinan karena kerusakan didasarkan surat permohonan yang bersangkutan disertai penyerahan Buku Pencatatan Perkawinan asli.

BAB XIV
LEGALISASI

Pasal 36

  1. Legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan dilakukan pada KUA Kecamatan yang mencatat peristiwa perkawinan.
  2. Dalam hal KUA Kecamatan sudah menggunakan aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan berbasis online atau dapat memverifikasi data perkawinan secara offline, legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan dapat dilakukan pada KUA Kecamatan lain dan/atau Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah.
  3. Legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan untuk keperluan ke luar negeri dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan dan pejabat pada Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah.
  4. Legalisasi surat status belum menikah/janda/duda untuk keperluan perkawinan dan atau keperluan lain di luar negeri, dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan dan pejabat pada Direktorat Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah.
  5. Legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan yang dikeluarkan pegawai pencatat perkawinan pada kantor perwakilan Republik Indonesia luar negeri dapat dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan tempat pendaftaran bukti perkawinan luar negeri.

Pasal 37

  1. Dalam hal KUA Kecamatan mengalami kejadian luar biasa atau force majure yang menyebabkan Akta Perkawinan hilang atau rusak, legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan dapat dilaksanakan pada KUA Kecamatan yang menerbitkan Buku Pencatatan Perkawinan.
  2. Legalisasi Buku Pencatatan Perkawinan sebagaimana dimaksud ayat (1) disertai dengan melampirkan:
    1. Buku Pencatatan Perkawinan asli;
    2. surat keterangan sebagai suami dan istri yang dikeluarkan oleh lurah/kepala desa; dan
    3. surat pernyataan bermeterai dari yang bersangkutan bahwa peristiwa perkawinan dicatat pada KUA Kecamatan dimaksud.

BAB XV
PENCATATAN PERUBAHAN STATUS

Pasal 38

  1. Kepala KUA Kecamatan membuat catatan perubahan status pada kolom catatan Akta Perkawinan apabila orang tersebut telah bercerai.
  2. Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tempat, tanggal, dan nomor putusan pengadilan tentang terjadinya cerai.

Pasal 39

  1. Dalam hal suami beristri lebih dari seorang, Kepala KUA Kecamatan membuat catatan dalam Akta Perkawinan terdahulu bahwa suami telah menikah lagi.
  2. Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama, tempat, tanggal, dan nomor penetapan izin poligami dari pengadilan agama, serta dibubuhi tanda tangan oleh Kepala KUA Kecamatan.
  3. Dalam hal perkawinan dilakukan di tempat yang berbeda, Kepala KUA Kecamatan yang melakukan pencatatan perkawinan wajib memberitahukan peristiwa perkawinan tersebut kepada Kepala KUA Kecamatan tempat terjadinya perkawinan terdahulu.

BAB XVI
PENGAMANAN DOKUMEN

Pasal 40

  1. Kepala KUA Kecamatan melakukan penyimpanan dokumen pencatatan perkawinan dan rujuk.
  2. Penyimpanan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manual dan elektronik.
  3. Penyimpanan secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditempatkan di KUA Kecamatan atau gedung arsip khusus.
  4. Penyimpanan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan.
  5. Penyimpanan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) harus mempertimbangkan aspek keamanan.
  6. Jika terjadi kerusakan atau kehilangan dokumen pencatatan perkawinan dan rujuk yang disebabkan oleh kejadian luar biasa atau force majeure, Kepala KUA Kecamatan melaporkan kejadian tersebut kepada kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota dan kepolisian.

BAB XVII
SUPERVISI

Pasal 41

  1. Supervisi layanan pencatatan perkawinan dan rujuk dilakukan secara berjenjang dan berkala.
  2. Pejabat yang mempunyai tugas di bidang bimbingan masyarakat Islam pada kantor kementerian agama kabupaten/kota melakukan supervisi kepada KUA Kecamatan setiap 3 (tiga) bulan dalam 1 (satu) tahun.
  3. Pejabat yang mempunyai tugas di bidang kepenghuluan di tingkat provinsi melakukan supervisi setiap 6 (enam) bulan dalam 1 (satu) tahun.
  4. Pejabat yang mempunyai tugas di bidang kepenghuluan di tingkat pusat melakukan supervisi sesuai kebutuhan.
  5. Hasil supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dibuat dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh tim supervisi dan Kepala KUA Kecamatan.
  6. Hasil supervisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaporkan kepada Direktur Jenderal.

BAB XVIII
PELAPORAN

Pasal 42

  1. Kepala KUA Kecamatan menyampaikan laporan kepada kepala kantor kementerian agama kabupaten/ kota.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    1. peristiwa perkawinan, meliputi:
      1. perkawinan di kantor dan luar kantor;
      2. rujuk;
      3. perkawinan campuran;
      4. usia perkawinan; dan
      5. pendidikan;
    2. formulir perkawinan;
    3. penerimaan negara bukan pajak nikah dan rujuk; dan
    4. bimbingan perkawinan.
  3. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dalam bentuk hard copy dan soft copy disampaikan setiap bulan.
  4. Kepala kantor kementerian agama kabupaten/kota menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kepala kantor wilayah kementerian agama provinsi melalui kepala bidang yang mengurusi kepenghuluan setiap bulan.
  5. Kepala kantor wilayah kementerian agama provinsi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Bina Kantor Urusan Agama dan Keluarga Sakinah melalui surat elektronik dan sistem informasi manajemen perkawinan setiap bulan.
  6. Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

BAB XIX
SANKSI

Pasal 43

Kepala KUA Kecamatan, Penghulu, dan pegawai pencatat perkawinan luar negeri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 44

Semua teknis administratif terkait pencatatan pernikahan yang berlaku sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, harus disesuaikan paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Peraturan Menteri ini diundangkan.

BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 45

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 46

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2018
  MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,,
ttd
LUKMAN HAKIM SAIFUDDIN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Agustus 2018
 
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA

Komentar