Jamaah shalat Jumat
rahimakumullah,
Khalifah kedua,
Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu 'anh pernah melontarkan kalimat:
“Sejak kapan kalian
memperbudak manusia, sedangkan ibu-ibu mereka melahirkan mereka sebagai
orang-orang merdeka.” (Kitab al-Wilâyah ‘alal Buldân fî ‘Ashril Khulafâ’
ar-Râsyidîn)
Sebagai
konsekuensinya, penjajahan sesungguhnya adalah proses pengingkaran akan sifat
hakiki manusia. Karena itu Islam mengizinkan membela diri ketika kezaliman
menimpa diri. Bahkan, pada level penjajahan yang mengancam jiwa, umat Islam
secara syar'i diperbolehkan mengobarkan perang. Perang dalam konteks ini adalah
untuk kepentingan mempertahankan diri (defensif), bukan perang dengan motif
asal menyerang (ofensif).
Hal ini pula yang
dilakukan para ulama, santri, dan umat Islam bangsa ini ketika menghadapi
penjajahan Belanda dan Jepang pada masa lalu. Perjuangan mereka lakukan bersama
berbagai elemen bangsa lain yang tidak hanya beda suku dan daerah tapi juga
agama dan kepercayaan. Sebab, kemerdekaan memang menjadi persoalan manusia
secara keseluruhan, bukan cuma golongan tertentu. Islam mengakuinya sebagai
nilai yang universal.
Jamaah shalat Jumat
rahimakumullah,
Tanah air menjadi
elemen penting dalam perjuangan tersebut. Tanah air tidak ubahnya rumah yang
dihuni jutaan bahkan ratusan juta manusia. Islam mengakui hak atas keamanan
tempat tinggal dan memperbolehkan melakukan pembelaan bila terjadi ancaman yang
membahayakannya.
Al-Qur’an bahkan
secara tersirat menyejajarkan posisi agama dan tanah air dalam Surat
al-Mumtahanan ayat 8:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Mumtahanah: 8)
Seorang pakar ilmu
tafsir, KH Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut memberi pesan bahwa
Islam menyejajarkan antara agama dan tanah air. Oleh Al-Qur’an keduanya
dijadikan alasan untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil. Al-Qur’an memberi
jaminan kebebasan beragama sekaligus jaminan bertempat tinggal secara merdeka.
Tidak heran bila sejumlah ulama memunculkan jargon hubbul wathan minal iman (cinta
tanah air sebagian dari iman).
Jamaah shalat Jumat
rahimakumullah,
Dengan demikian,
cara pertama yang bisa dilakukan untuk menyambut hari kemerdekaan ini adalah
mensyukuri secara sungguh-sungguh dan sepenuh hati atas anugerah kemanan atas
agama dan negara kita dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan. Sebab,
nikmat agung setelah iman adalah aman (a’dhamun ni‘ami ba‘dal îmân billâh
ni‘matul aman).
Lalu, bagaimana
cara kita mensyukuri kemerdekaan ini?
Pertama, mengisi
kemerdekaan selama ini dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Menjalankan
syariat secara tenang adalah anugerah yang besar di tengah sebagian
saudara-saudara kita di belahan dunia lain berjuang mencari kedamaian. Umat
Islam Indonesia harus mensyukurinya dengan senantiasa mendekatkan diri kepada
sang khaliq dan berbuat baik kepada sesama. Perlombaan yang paling bagus dim
omen ini adalah perlombaan menuju paling menjadi pribadi paling takwa karena di
situlah kemuliaan dapat diraih.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurat: 13)
Yang kedua,
mencintai negeri ini dengan memperhatikan berbagai kemaslahatan dan kemudaratan
bagi eksistensinya. Segala upaya yang memberikan manfaat bagi rakyat luas kita
dukung, sementara yang merugikan masyarakat banyak kita tolak.
Dukungan terhadap
kemaslahatan publik bisa dimulai dari diri sendiri yang berpatisipasi terhadap
proses kemajuan di masyarakat, andil bergotong royong, atau patuh terhadap
peraturan yang berlaku. Sebaliknya, mencegah mudarat berarti menjauhkan bangsa
ini dari berbagai marabahaya, seperti bencana, korupsi, kriminalitas, dan lain
sebagainya.
Inilah
pengejawantahan dari sikap amar ma’ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.
Ajakan kebaikan dan pengingkaran terhadap kemungkaran dipraktikkan dalam
konteks pembangunan masyarakat. Tujuannya, menciptakan kehidupan yang lebih
harmonis, adil, dan sejahtera. Termasuk dalam praktik ini adalah mengapresiasi
pemerintah bila kebijakan yang dijalankan berguna dan mengkritiknya tanpa segan
ketika kebijakan pemerintah melenceng dari kemaslahatan bersama.
Jamaah shalat Jumat
rahimakumullah,
Al-Imam Hujjatul
Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûmid Dîn mengatakan:
“Kekuasaan (negara)
dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah landasan, sedangkan
kekuasaan adalah pemelihara. Sesuatu tanpa landasan akan roboh. Sedangkan
sesuatu tanpa pemelihara akan lenyap.”
Al-Ghazali dalam
penryataan itu seolah ingin menegaskan bahwa ada hubungan simbiosis yang tak
terpisahkan antara agama dan negara. Alih-alih bertentangan, keduanya justru
hadir dalam keadaan saling menopang. Negara membutuhkan nilai-nilai dasar yang
terkandung dalam agama, sementara agama memperlukan “rumah” yang mampu merawat
keberlangsungannya secara aman dan damai.
Indonesia adalah sebuah nikmat yang sangat penting.
Kita bersyukur dasar negara kita senafas dengan substansi ajaran Islam.
Kemerdekaan memang belum diraih secara tuntas dalam segala bidang. Namun,
itulah tugas kita sebagai warga negara yang baik untuk tak hanya mengeluhkan
keadaan tapi juga harus turut serta memperbaikinya sebagai bagian dari ekspresi
hubbul wathan. Semoga Allah subhânahu wata‘âlâ senantiasa menjaga
negara dan agama kita dari malapetaka hingga bisa kita wariskan ke
generasi-generasi berkutnya. Wallâhu a‘lam.
Komentar
Posting Komentar